BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Setelah kita melihat bagaimana kesombongan
menghancurkan orang dan bagaimana sebetulnya kita tanpa disadari seringkali
jatuh ke dalam kesombongan dan akhirnya membawa kepada kebinasaan. tetapi jika
kita sadari kita coba untuk menghindarinya. Bagaimana kita dapat memperoleh
kerendahan hati yang merupakan kebajikan yang sangat berkenan di hadapan Allah.
Seperti yang dijelaskan pada permulaannya, dalam hidup rohani kerendahan hati
adalah dasar sedangkan cintakasih itu adalah mahkotanya, maka sebuah bangunan
rohani supaya dapat berdiri kokoh kuat dan tidak akan roboh harus diletakkan
pada dasar kerendahan hati yang sangat kuat dan sangat dalam.
B. Masalah
·
Bagaimana kita dapat memperoleh
kerendahan hati ?
·
Bagaimana kita memulai kebijaksanaan
agar tidak menjadi sombong ?
·
Bagaimana kerendahan hati para Kudus ?
·
Bagaimana kerendahan hati yang palsu ?
C. Pentingnya
pembahasan masalah
Kita harus menyadari mengenai kerendahan hati, dan
akhirnya kita harus berfokus dan sungguh-sungguh hidup dalam hadirat Allah,
karena kerendahan hati akan menumbuhkan cinta kasih. Jika kita sungguh hidup di hadirat-Nya, kita
akan memperoleh kerendahan hati, kecuali jika kita tidak hidup di hadirat Allah
kita tidak memperoleh kerendahan hati. Dalam spiritualitas Karmel kita harus
hidup di hadirat Allah dan menyadari kelemahan kita tetapi kembali lagi hidup
melulu bagi Allah yang maharahim dan dalam kesadaran bahwa saya masih tetap
bertahan hingga saat ini berkat rahmat dan belaskasihan Allah.
BAB
II
BERTUMBUH
DALAM KERENDAHAN HATI
A.
Tinjauan
Alkitab
·
1 Korintus 13 : 4
“Kasih itu sabar, kasih itu murah
hati, ia tidak cemburu, Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong”
Jalan kerendahan
hati yang utama akhirnya kembali kepada Cintakasih. orang yang memiliki kasih
itu dengan sendirinya tidak akan sombong. Jalan yang paling aman untuk mencapai
kerendahan hati akhirnya kembali kepada Jalan Cinta Kasih. Hanya Cintakasihlah
jalan satu-satunya, jalan yang rajawi cintakasih kepada Allah dan cintakasih
kepada sesama. Karena cintakasih kepada Tuhan tidak bisa dilepaskan daripada
kasih kepada sesama, jika kita berkembang dalam cintakasih kita akan berkembang
dalam kerendahan hati
·
Mazmur 113 : 5 – 6
“Siapakah seperti Tuhan, Allah
kita, yang diam ditempat yang tinggi, yang merendahkan diri untuk melihat
kelangit dan ke bumi ? ”
Dijelaskan bahwa
Tuhan adalah Allah, yang berkuasa atas segalanya di bumi dan di surga namun DIA
tidak pernah meninggikan dirinya, melainkan selalu merendahkan diri. jelas
diajarkan bahwa kita tidak boleh sombong dengan apa yang kita miliki sekarang
karena kita menyadari semua itu adalah berasal dari DIA yang suatu saat bisa
diambil kembali.
B.
Bagaimana
kita dapat memperoleh kerendahan hati?
Salah
satu sebab mengapa seringkali kita tidak memperoleh kerendahan hati ialah
karena kita kurang menyadari, kurang memeriksa diri kita, kurang menyadari
kerapuhan dan kepapaan dalam diri kita sendiri. Misalnya kita membayangkan
seorang penjahat di hadapan pengadilan, setelah tertangkap dibuktikan segala
kejahatannya, dia berdiri di muka hakim mungkin dengan kepala tertunduk karena
dia malu dan sadar bahwa sewaktu-waktu dapat dijatuhkan hukuman yang berat.
Lebih-lebih jika dia sadar kejahatannya yang berat, maka dia akan berdiri
dengan rendah hati di hadapan hakim dengan mengakui kejahatannya. Jika kita di
hadapan Allah menyadari segala dosa-dosa yang kita lakukan,
kecenderungan-kecenderungan jahat yang masih ada dalam diri kita, bahwa
sewaktu-waktu kita bisa dibawa kepada dosa-dosa yang mengerikan kalau tidak
dijaga oleh Allah, karena dosa-dosa itu sebenarnya kita patut mendapat neraka
atau kita patut dimasukkan ke neraka. Salah satu pengalaman St.Teresa dari
Avila yang membuat ia begitu rendah hati dan itu merupakan pengalaman tidak
terlupakan. Suatu ketika ia diberi rahmat oleh Tuhan dalam sebuah visiun dan
diajak “melihat” neraka. St.Teresa dibawa oleh Tuhan dalam suatu pengalaman
rohani, diperlihatkan neraka oleh Yesus dan ditunjukkan “itulah sebetulnya
tempat yang disediakan bagimu jika engkau tidak bertobat.” Lalu St.Teresa
kemudian begitu menyadari semua itu dan pengalaman itu membuat dia rendah hati
untuk seumur hidupnya karena setiap kali teringat kembali akan pengalaman itu
begitu mengerikan. Dia sadar akan patut mendapat hukuman kalau dia tidak
bertobat, dengan demikian karena ia merasa telah diselamatkan oleh Tuhan dan
diampuni dosa-dosanya, ia sadar akan kelemahan dan kerapuhannya menjadikan dia
tetap rendah hati.
Kalau
kita sadar akan semuanya itu, kecenderungan-kecenderungan yang masih ada dalam
diri kita dan kita berjuang terhadap kelemahan-kelemahan itu, yang satu mungkin
lebih dari yang lain tetapi kecenderungan itu tetap ada dan kalau kita
merenungkannya bahwa untuk itu kita membutuhkan rahmat Tuhan. Seandainya kita
tidak diberikan rahmat oleh Tuhan kita pasti sudah jatuh. Pemazmur juga
mengatakan bahwa “Bila orang tidak menjadi rendah hati karena orang kehilangan
takut akan Allah” seperti yang dikatakan Mazmur 36:2 “Dosa bertutur di lubuk
hati orang fasik, rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.” Karena itu
dia akan melakukan dosa itu dan menjadi sombong.
1.
Takut
akan Allah adalah Permulaan Kebijaksanaan
Kalau kita
memiliki takut yang suci ini dapat dikatakan juga “takut akan Allah adalah
permulaan kebijaksanaan” (lih. Ams 1:7) yang dimaksud takut akan Allah yaitu
bukan takut untuk melakukan sesuatu tetapi kita sadar bahwa jangan-jangan kita
sewaktu-waktu kita bisa menghina Allah, bisa menyakiti hati Allah. Oleh karena
itu takut akan Allah ini harus selalu ada, kalau kita melihat ketujuh karunia
Roh Kudus maka salah satu yang paling dasar ialah Takut akan Allah yang
puncaknya adalah hikmat atau kebijaksanaan. Tetapi takut akan Allah ini akan
selalu ada bahkan dalam orang kudus yang besar, takut akan Allah ini ada. Bukan
karena takut akan dihukum atau apapun tetapi ‘takut’ bahwa dia dapat menghina
Allah bahwa sewaktu-waktu dia dapat jatuh. Kesadaran akan kelemahan, kerapuhan
kita maka kadang-kadang merenungkan kerapuhan-kerapuhan kita itu penting
sekali. Lebih-lebih apabila kita tergoda untuk menjadi sombong dan sebagainya,
kita merenungkan kerapuhan-kerapuhan, dosa-dosa yang telah terjadi bukan untuk
jatuh dalam dosa itu tetapi untuk menyadari godaan ke dalam kesombongan, kita
mengakui di hadapan Tuhan “Aku ini seorang pendosa dan tanpa rahmat-Mu aku bisa
menjadi lebih jahat lagi.” Karena itu juga orang-orang kudus justru menganggap diri
mereka orang yang berdosa.St. Paulus menulis dalam suratnya bahwa dia tidak
layak disebut rasul, itu bukan hanya basa-basi melainkan keluar dari kesadaran Paulus
yang sangat besar bahwa dia tidak layak disebut rasul karena dia telah banyak
berdosa, telah menganiaya umat Allah dan dosa itu selalu membayangi di hadapan
matanya, membuat dia rendah hati. Karena dia merasa “Aku tidak layak disebut
rasul” dia tahu sebetulnya bahwa dia telah berdosa tetapi dari pihak lain
kerendahan hati yang sejati tidak membuat putus asa tetapi dia percaya akan
Kerahiman Allah yang jauh lebih besar.
2.
Kejatuhan
Petrus dan Yudas Iskariot
Kita melihat
perbedaan kalau kesadaran akan dosa membuat kita sadar untuk tidak berputus asa
sebab berbeda jika kita lihat antara Petrus dan Yudas. Petrus yang telah
menyangkal Yesus dengan sangat mengerikan dimana Petrus mengatakan “Aku tidak
mengenal orang itu” (lih. Mat 26:69-75; Mrk 14:66-72; Luk 22:56-62; Yoh 18:15-18.25-27)
tetapi kemudian Petrus sadar lalu menangis dan masih percaya kepada kasih Allah
dan pengampunan dari Tuhan Yesus. Setelah kebangkitan ketika Petrus ditanyai
Yesus “Petrus, apakah engkau mengasihi aku lebih dari mereka itu?” Petrus hanya
bisa menjawab “Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” (lih. Yoh
21:15-19). Bagaimanapun juga Petrus tidak berani berkata seperti sebelumnya
ketika jatuh dan akan menyangkal Yesus “Tuhan, sekalipun mereka meninggalkan
Engkau aku tidak akan meninggalkan Engkau!” (lih. Mat 26:30-35; Mrk 14:26-31;
Luk 22:31-34; Yoh 13:36-38). Di sini Petrus hanya mengatakan “Tuhan, Engkau
tahu bahwa aku mengasihi Engkau” dan Petrus tidak lagi berani mengatakan sesuatu
yang lain daripada itu, karena kejatuhannya Petrus tidak berani lagi melakukan
hal yang serupa. Yesus mengatakan kepada Petrus “Aku telah berdoa untuk engkau,
supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah
saudara-saudaramu” (Luk 22:32). Petrus masih diberikan rahmat dan menjadi
sadar. kemudian jika kita membaca surat Petrus, pada hari tuanya maka kita
lihat nada-nada kesombongan Petrus sudah tidak ada lagi. Begitu berbedanya jika
dibandingkan ketika Petrus berkata “Sekalipun aku harus mati bersama-sama
Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." Semua murid yang lain pun berkata
demikian juga” (Mat 26:35). Dia begitu yakin akan kekuatannya, karena dia
begitu yakin akan kekuatannya Petrus dibiarkan ‘jatuh’ dalam kerapuhannya.
Sebaliknya
Yudas karena ia tidak setia dan dia tidak sungguh-sungguh mencintai Yesus,
akhirnya jatuh begitu dalam, lebih dalam daripada kejatuhan Petrus. Yudas
dengan sengaja mengkhianati Tuhan Yesus, ini terjadi karena Yudas menolak
rahmat Allah. Sampai akhirnya ketika dia sadar bahwa dia telah mengkhianati
Yesus dan tidak memiliki kerendahan hati serta tidak memiliki cinta Allah dan
tidak sungguh-sungguh mencintai Yesus maka ia menjadi putus asa. Sadar akan
dosa-dosanya yang begitu besar, iblis menggodanya untuk terakhir kalinya ‘tidak
ada jalan bagimu selain untuk menggantung diri’ dan itu yang dilakukan oleh
Yudas.
3.
Kerendahan
Hati Para Kudus
Kita harus sadar
akan hal ini bahwa tanpa rahmat Allah kalau Allah tidak melindungi kita dan
tidak menjaga kita, kita mungkin jatuh seperti Yudas, itu tidak mustahil, jika
kita tidak ditolong oleh rahmat Allah. Di surga selalu ada orang-orang kudus
yang selalu menyadari dirinya adalah orang yang berdosa. Para kudus mengerti
orang yang berdosa, St.Teresa kalau berbicarapun dia menyadari bahwa dia lebih
berdosa dari yang lain. Ini bukan suatu kepura-puraan karena dia sadar akan
kapasitas atau kecenderungan kemungkinan dia melakukan dosa-dosa seandainya
tidak ditahan oleh Allah.
Kita
mengerti pengakuan St.Theresia dari Lisieux, suatu saat dia oleh pembimbing
rohaninya dikatakan “Kalau melihat keadaanmu ini hanya dua kemungkinan engkau
akan menjadi setan kecil atau malaikat” dan St.Theresia sadar Tuhan
mengasihinya sehingga Ia menjauhkan itu. Pada puncak hidupnya St. Theresia
sadar bahwa dia bisa lepas dari semua itu karena Kerahiman Allah, seolah-olah
semua hambatan disingkirkan. Memang Tuhan memelihara dia dan dia sadar, karena
itu Theresia begitu sadar dan mengatakan “Tuhan mengasihi aku melebihi yang
lain”, lebih daripada seorang pendosa besar karena dia tahu bahwa sebetulnya dalam
dirinya ada kapasitas untuk menjadi jahat sekali seandainya rahmat Allah tidak
menopang dia. Kita melihat St.Theresia yang mencintai kelemahannya dan
kekecilannya, ia mengalami kerahiman Allah yang mahabesar. St.Theresia menjadi
begitu rendah hati, dia sadar tanpa rahmat Allah ia akan menjadi seperti yang
dikatakan pembimbingnya itu ‘menjadi setan kecil atau setan besar’. Untuk itu
kita merenungkan, melihat segala kerapuhan dalam diri kita, kita tidak berani
menengadahkan kepala kita, tetapi kita akan seperti pemungut cukai dan berkata
“Kasihanilah aku orang yang berdosa ini” (lih. Luk 18:13).
Seperti
pohon yang buah-buahnya menjadi lentur dan tidak jatuh karena akarnya kuat,
demikianlah juga kita itu bisa bertahan walaupun ada macam-macam beban karena rahmat
Tuhan yang memperkuat kita. Bukan karena kemampuan saya, kebajikan saya tetapi
semata-mata karena rahmat Allah yang menopang aku. Kita dapat membayangkan
kalau kita yang berada di tempat orang-orang tertentu, apakah saya akan menjadi
lebih baik dari dia? Itu belum tentu, mungkin bisa menjadi lebih jahat, kalau
kita melihat seorang kriminal tertentu tetapi jika kita di tempat dia, kita
mungkin bisa atau bahkan jauh lebih jahat dari orang itu.
Kesadaran
akan kerapuhan ini harus selalu menyertai kita. Dalam sejarah kita melihat
orang yang berkembang baik dalam permulaannya, kemudian bisa jatuh begitu dalam
dan hal ini sering terjadi. Orang begitu bersemangat pada permulaan dan
kemudian jatuh lebih dalam, kita lihat misalnya dalam sejarah gereja banyak sekali
orang seperti itu. Orang seperti itu kemudian memberontak dan menjadi bidaah
dengan kata lain memusuhi Gereja. Orang-orang bidaah itu bukanlah orang yang
bodoh, justru bidaah-bidaah itu orang yang memiliki otak yang cemerlang, tetapi
karena tidak menyadari kerapuhannya sendiri sehingga menjadi sombong dan
menjadi bidaah.
4.
Kerendahan
Hati yang Palsu
Dari
pihak lain ada suatu bentuk kerendahan hati palsu, kerendahan hati palsu ini
terjadi dan orang membanggakannya bahwa dia itu orang berdosa, kalau ini dinamakan
“Farisi Kuadrat”. Sudah jelas-jelas ‘berdosa’ tetap membanggakan diri dan ini
terjadi. Dia membanggakan diri dan tidak seperti ‘farisi-farisi itu’. Dia
mengadili orang lain padahal dia sendiri melakukan dosa-dosa yang mengerikan
dan masih berbangga “Saya memang orang berdosa tidak seperti farisi-farisi itu’
dan ini namanya Farisi kuadrat. Orang Farisi jika dibandingkan dengan orang ini
masih lebih baik, Farisi itu sekurangnya melakukan sesuatu yang baik walaupun
motivasinya kurang baik. Orang terang-terangan melakukan kejahatan dan
berbangga-bangga terhadap kejahatannya itu dan ini disebut Perversi, bukan saja
melakukan dosa tetapi jauh melampaui itu dan disebut perversi artinya
pemutarbalikan nilai-nilai yang mengerikan. Ini membuat kita harus selalu
rendah hati maka kita berdoa kepada Tuhan “Tuhan, berilah aku rahmat untuk
tetap setia dan bertekun sampai akhir”, memohon rahmat untuk hari ini dan kalau
kita mungkin takut dapat bertahan sampai akhir baiklah kita memohon rahmat
untuk hari ini dan dari hari ke hari kita dapat bertekun. Oleh karena itu, kita
perlu memohon rahmat dari Tuhan, yaitu rahmat untuk ketekunan itu. Kita juga
mohon seperti yang dilakukan St.Agustinus “Tuhan, semoga aku mengenal diriku
sendiri supaya aku mengenal Engkau dan mengenal diriku sendiri. Berilah aku
rahmat-Mu ya Tuhan untuk mengenal diriku supaya aku tetap rendah hati.” ”Kalau
saya menyadari kerapuhan, kekecilan dan ketidakberdayaanku sendiri dan
kecenderungan-kecenderungan kepada yang jahat maka aku akan dipenuhi rasa takut
kepada-Mu, takut jangan-jangan saya menghina Engkau, jangan-jangan saya jatuh
dalam dosa.”
5.
Betapa
Aku Membutuhkan RahmatMu ya Tuhan
Kalau kita mau
melihat ke dalam hati kita, kita akan menyadari bahwa dalam diri ini sebenarnya
begitu rapuh. Maka kita sadar bahwa dari diri kita sendiri “saya tidak berdaya”
berapa kali kita mengambila niat-niat untuk melakukan sesuatu yang baik mungkin
juga mengakukan dosa tertentu dan setelah mengakukan masih melakukan dosa
tersebut. Betapa seringnya bahwa orang jatuh pada dosa-dosa yang sama, artinya
kita sadar sebenarnya bahwa kalau kita diserahkan pada diri sendiri kita dapat
melakukan hal-hal yang jahat melebihi orang-orang lain. Kalau hati kita seperti
galah atau gelagah yang digoyangkan angin, kalau angin bertiup dari utara ia
akan membungkuk ke selatan, jika angin bertiup dari selatan ia akan membungkuk
ke utara sehingga ada kesempatan untuk berbuat dosa dan kita mudah sekali
jatuh.
Pada
saat-saat tertentu seperti yang dikatakan Pemazmur “Pada saat ada semangat yang
berkobar-kobar akan berkata untuk selamanya aku tidak akan jatuh” tetapi baru
saja rahmat Tuhan ditarik kita sudah tidak berdaya. Kalau kita lihat cerita
Nabi Elia yang sangat berharga bagi kita, Elia yang semangatnya berkobar-kobar
karena rahmat Tuhan yang dicurahkan kepadanya dia tidak takut menghadapi 400
nabi Baal. Seorang diri dengan penuh keyakinan dan penuh keberanian tampil
menantang mereka “Kalau Baal, allah mereka sembah Baal, tetapi kalau Yahwe
adalah Allah mereka sembahlah Dia.” Untuk membuktikan siapa yang Allah
sebenarnya, mari kita mengadakan semacam pertandingan. Nabi-nabi Baal
mempersembahkan kurban tetapi tanpa api dan Elia mempersembahkan kurban tanpa
api. Allah yang menjawab kurban itu, Dialah Allah yang benar. Elia memberikan
kesempatan nabi Baal untuk memulai lebih dahulu persembahan mereka. Dengan
penuh keyakinan dan kepercayaan Elia berdoa kepada Allah dan api turun dari
surga serta membakar kurban-kurban tersebut. Padahal Elia menghadapi semua nabi
Baal tanpa gentar dan takut, suatu keberanian yang luar biasa dan tidak
berpikir bahwa dia tidak akan gagal walaupun nabi-nabi Baal telah gagal untuk
mendatangkan api dari langit, tetapi kalau Elia gagal maka ia akan dianggap
sebagai seorang penipu.
Dengan
penuh keyakinan karena rahmat Tuhan menyertai dia, menghadapi rakyat dan semua
umat Israel yang bermusuhan serta nabi Baal yang banyak jumlahnya ia tidak
takut. Setelah kemenangan yang gilang-gemilang itu Tuhan menunjukkan bahwa
seluruh keberhasilan Elia berasal dari rahmat Tuhan. Ketika suatu saat ada
ancaman dari Izebel “Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih
lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat
nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu” (1 Raj 19:2). Elia
menjadi takut dan mengeluh kepada Tuhan “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN,
ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku” (1
Raj 19:4). Kita melihat sebetulnya bahwa apa yang menyebabkan ia berhasil
menaklukkan nabi-nabi Baal semata-mata rahmat Tuhan. Kita dapat berkata kalau
Elia saja yang begitu hebat bisa hampir putus asa apalagi kita kalau kita
bersandar pada kekuatan sendiri. Kita melihat contoh yang lain bahwa Salomo
yang penuh dengan kebijaksanaan akhirnya bisa jatuh begitu dalam. Maka siapakah
kamu anggap dirimu bahwa kamu tidak bisa jatuh? Ini bukan membuat kita menjadi
takut, tetapi untuk Takut akan Allah bahwa kitapun bisa jatuh dan menjadikan
kita tetap rendah hati. Beberapa ahli hidup rohani mengajarkan kepada kita
“Jangan memikirkan perkara-perkara yang sulit!” Dengan sengaja memikirkan
“Bagaimana seandainya suatu saat menghadapi penganiayaan? Apakah saya dapat
menjadi martir atau tidak?” Para pengarang rohani mengatakan “Jangan berpikir
atau berkhayal seperti itu” dengan memikirkannya dengan sengaja kita telah
jatuh. Apabila pikiran itu timbul berbeda jika kita memikirkannya dengan
sengaja dan pakailah itu tetap rendah hati di hadapan Tuhan, kita katakan
kepada-Nya “Tuhan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Dari diriku sendiri
aku begitu lemah dan rapuh. Bantulah aku ya Tuhan karena aku tidak tahu apa
yang akan terjadi, karena kekuatanku terbatas dan aku tidak mampu menanggungnya
jika aku disiksa karena sesungguhnya aku membutuhkan kekuatan-Mu ya Tuhan.” Dan
membuat kita semakin rendah hati dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. “Tanpa
rahmat-Mu ya Tuhan aku akan murtad, tanpa rahmat-Mu aku tidak akan tahan. Akan
tetapi, Engkau memberikan rahmat kekuatan sehingga aku bisa bertahan.” Karena
diarahkan untuk berharap kepada Allah dan menyadari kelemahan dan kerapuhan
kita. Jikalau kita sadar kita ini orang yang lemah maka kita akan berjaga-jaga
sehingga tidak takut bahaya dan apabila kita berhati-hati biasanya tidak akan
jatuh.
6.
Cara
Memperoleh Kerendahan Hati
Satu
cara yang dipakai seorang kudus untuk memperoleh kerendahan hati dimana ia
berdoa “Tuhan, aku tidak tahu kerendahan hati itu tetapi saya hanya tahu saya
tidak memilikinya dan dari diriku sendiri aku tidak bisa memperolehnya. Kalau
aku tidak memiliki kerendahan hati aku tidak akan diselamatkan karena itu
bagiku sekarang hanya kemungkinan ini yaitu meminta kepada-Mu untuk memohon
kepada-Mu tetapi berilah aku rahmat-Mu untuk memohon sebagaimana mestinya.
Bahkan kita tidak tahu bagaimana harus berdoa karena itu berikanlah kepadaku
rahmat-Mu untuk memohon sebagaimana seharusnya. Engkau telah berjanji kepadaku
untuk memberikan segala sesuatu yang saya minta kepada-Mu dan yang perlu untuk
keselamatanku yang kekal. Saya tahu kerendahan hati yang paling penting bagi
saya dan Iman Katolik mengajarkan kepadaku bahwa Engkau akan memberikan bila
aku memohonnya kepada-Mu sebagaimana mestinya. Tetapi justru Tuhan disinilah
kesukarannya karena aku tidak tahu bagaimana aku harus berdoa karena itu
ajarlah aku memohon secara tepat supaya aku berdoa seperti yang Engkau
kehendaki.”
Sebenarnya
dalam doa kita sadari yang terpenting bukanlah apa yang kita katakan, tetapi
yang terpenting ialah apa yang dikatakan oleh Roh Kudus di dalam diri kita.
Dengan demikian akan membuat kita selalu rendah hati. “Tuhan, Engkau
memerintahkan saya supaya saya rendah hati dan saya siap untuk taat tetapi
berikanlah rahmat-Mu supaya dengan bantuan-Mu aku sungguh-sungguh menjadi
seperti yang Engkau kehendaki.” Kalau kita menyadari ini, kita akan mohon
kepada Tuhan dan dari pihak kita melakukan apa yang dapat kita lakukan dengan
doa-doa kita. Kalau Tuhan melihat bahwa kita sungguh-sungguh serius dalam hal
ini maka Tuhan akan datang menolong kita. Dia akan memproses kita sehingga kita
menjadi rendah hati melalui bermacam-macam pencobaan, penderitaan,
pemurnian-pemurnian, dan inilah yang menjadikan kita rendah hati.
Dalam
pemurnian atau malam gelap seperti yang dikatakan St. Yohanes dari Salib,
“Proses pemurnian begitu mendalam sehingga kita menyadari secara mendalam ketidakberdayaan
kita.” Dari satu pihak misalnya dalam kebajikan-kebajikan lain kita kurang
lebih tahu kita telah memilikinya, kita dapat bertanya “Apakah saya taat? Saya
tahu jika saya diperintahkan, saya dengan rela dapat menaatinya maka dapat
dikatakan saya memiliki ketaatan. Jika memiliki kebajikan kesabaran saya dapat
menanggung pencobaan yang dialami dengan sabar berarti saya memiliki kebajikan
ini.” Tetapi mengenai kerendahan hati, kita tidak bisa melakukannya dengan
pertanyaan-pertanyaan reflektif sebab kalau berpikir seseorang itu rendah hati
ini merupakan suatu penipuan kemudian tampil seolah-olah rendah hati padahal
hanya merupakan kerendahan hati yang palsu supaya dikatakan rendah hati. Ada
orang yang merendahkan diri supaya ditinggikan atau dipuji-puji misalnya “saya
tidak bisa apa-apa atau saya ini orang jahat atau saya ini lemah ini dan itu”
kemudian ada seorang yang menanggapi “Memang kamu tidak bisa apa-apa atau
memang kamu jahat atau kamu ini lemah” dan orang tersebut langsung marah-marah
dan mengomel dan lain sebagainya sehingga ‘topengnya’ terbuka padahal
sebenarnya ia ingin dipuji, ditinggikan atau dikatakan ‘rendah hati’. Kalau
orang berpikir dia itu rendah hati sebenarnya dia itu tidak rendah hati dan
menipu dirinya sendiri. Sebaliknya kalau kita sadar masih memiliki kesombongan
itulah permulaan kerendahan hati. Orang sungguh rendah hati akan mudah menerima
kalaupun dimaki-maki ia akan mengatakan “Saya pantas dan layak menerima itu
semua”, kalau dihina ia akan mengatakan “Sudah selayaknya saya pantas
mendapatkan penghinaan itu karena dosa-dosa saya”. semakin orang mengira
dirinya rendah hati semakin sombonglah dia tetapi kalau seseorang merasa tidak
berdaya dan lemah kita harus berani menyadarinya. Kerendahan hati suatu rahmat
yang besar tetapi kerendahan hati palsu malah menggelikan. Kerendahan hati
suatu rahmat dan kebajikan yang sulit didapatkan tetapi amat dibutuhkan, untuk
memperoleh kerendahan hati kita pertama-tama menyadarinya, lalu jalan yang
paling baik untuk memperoleh kerendahan hati, jalan yang paling utama untuk
mencapai kerendahan hati ialah sebenarnya adalah cintakasih, karena cintakasih
itu rendah hati.
Suatu
saat St.Fransiskus dari Sales bersama dengan seorang biarawati dan suster itu
berkata kepada St.Fransiskus dari Sales “Saya ingin memiliki kerendahan hati
supaya dapat memperoleh cintakasih” dan St.Fransiskus mengatakan kepadanya
“Saya ingin mengejar cintakasih agar memperoleh kerendahan hati”. Apa yang
dikatakan St.Paulus “Cintakasih tidak membanggakan diri” (lih. 1 Kor 13:1-13).
Jalan kerendahan hati yang utama akhirnya kembali kepada Cintakasih. “Kasih itu
sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan
tidak sombong” (1 Kor 13:4), orang yang memiliki kasih itu dengan sendirinya
tidak akan sombong. St.Theresia Lisieux sebetulnya ‘Jalan Kecilnya’ adalah
jalan cintakasih, dalam segala sesuatu melakukan demi kasihnya kepada Allah
karena ia melakukannya dengan setia, ia diberikan karunia kerendahan hati yang
sangat besar. Jalan yang paling aman untuk mencapai kerendahan hati akhirnya
kembali kepada Jalan Cinta Kasih. Hanya Cintakasihlah jalan satu-satunya, jalan
yang rajawi cintakasih kepada Allah dan cintakasih kepada sesama. Karena
cintakasih kepada Tuhan tidak bisa dilepaskan daripada kasih kepada sesama,
jika kita berkembang dalam cintakasih kita akan berkembang dalam kerendahan
hati. St.Teresa dari Avila itu menekankan untuk sungguh-sungguh merenungkan
keadaan kita untuk mencapai kerendahan hati. St.Teresa dari Avila menggambarkan
kerendahan hati seperti lauk yang harus menyertai makanan walaupun lauk pauk
kadang-kadang harus diganti. Kerendahan hati bagaimana kita berusaha kita tidak
akan mencapainya dengan sempurna tetapi jika Tuhan sungguh melihat kita
sungguh-sungguh ingin mencapainya maka Allah menolong kita dengan memproses
atau memurnikan kita sehingga kita benar-benar menjadi rendah hati. Untuk
itulah kita mohon kepada Allah seperti St.Agustinus “Tuhan, ajarlah aku
mengenal Engkau dan mengenal diriku sendiri” jika kita sungguh mengenal diri
sendiri kita akan sungguh menjadi rendah hati dan kerendahan hati yang sejati
adalah buah dari cintakasih. Maka St. Paulus mengatakan “Kasih itu sabar; kasih
itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong”
(1 Kor 13:4), pada saat-saat tertentu perlu menyadari kelemahan-kelemahan kita,
dosa-dosa kita supaya kita sadar tetapi pada waktu selanjutnya kita harus
berfokus dan hidup di hadirat Allah. Walaupun sering kita kembali kepada diri
kita, menyadari kerapuhan dan kelemahan kita tetapi jangan terus menerus dan
berputar-putar pada kelemahan tersebut karena akan berpusat pada diri sendiri.
Perhatian
kita yang paling utama selalu dan dalam kerendahan hati, yaitu: berfokus kepada
Tuhan seperti yang dikatakan St.Teresa Avila “Kerendahan hati yang sejati
diperoleh melalui pengalaman kasih Allah” karena jikalau Tuhan memberikan
kasih-Nya, Dia sekaligus menyinari dengan Terang yang besar keadaan kita dengan
rahmat-Nya. St.Yohanes Salib menerangkan jika Allah menerangi kita dengan
Terang-Nya seperti ruangan tanpa lampu yang menyala tetap dalam keadaan gelap
dan mengira ruangan tersebut ‘bersih’ tetapi setelah lampu dinyalakan maka
kelihatan seluruh keadaan ruangan dengan kotoran-kotorannya, debu-debu dan
sebagainya. Jika Allah mencurahkan rahmat-Nya ke dalam hati kita melalui
pengalaman kasih Allah itu sekaligus menunjukkan kedosaan kita, itulah sebabnya
pengalaman Allah dalam Pencurahan Roh Kudus membawa orang kepada pertobatan.
Dari satu pihak melalui pengalaman kasih itu disadarkan akan dosa-dosanya yang
besar dan banyak sehingga bertobat dan mengalami kasih Allah yang melampaui
segala pengertiannya.
Kita
harus menyadari mengenai kerendahan hati, dan akhirnya kita harus berfokus dan
sungguh-sungguh hidup dalam hadirat Allah. Jika kita sungguh hidup di
hadirat-Nya, kita akan memperoleh kerendahan hati, kecuali jika kita tidak
hidup di hadirat Allah kita tidak memperoleh kerendahan hati. Dalam
spiritualitas karmel kita harus hidup di hadirat Allah dan menyadari kelemahan
kita tetapi kembali lagi hidup melulu bagi Allah yang maharahim dan dalam
kesadaran bahwa saya masih tetap bertahan hingga saat ini berkat rahmat dan
belaskasihan Allah.
C.
Diskusi
Hasil tanya-jawab :
Pertanyaan
Agnes :
bagaimana cara kita mempertahankan
sikap kerendahan hati apabila kita dihadapkan pada situasi yang memaksa kita
untuk melakukan suatu tindakan yang menunjukan seolah-olah kita bersikap
sombong.
Jawab :
Penulis :
Dengan tegas kita harus melakukan suatu hal yang
baik meskipun berdampak bagi kita.
Samuel :
Mau bekerja sama dengan orang lain,
misalnya dalam kelas kita sehari-hari tidak ddekat dengan teman-teman
dikelas tapi dalam situasi tertentu kita
mau satu kelompok dalam mengerjakan tugas kuliah.
Kita juga tidak identik dengan
menjual diri.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Apabila
kita kurang menyadari, kurang memeriksa diri kita, kurang menyadari kerapuhan
dan kepapaan dalam diri kita sendiri, kecenderungan-kecenderungan jahat yang
masih ada dalam diri kita, bahwa sewaktu-waktu kita bisa dibawa kepada dosa-dosa
yang mengerikan kalau tidak dijaga oleh Allah.
kalau kita melihat ketujuh karunia
Roh Kudus maka salah satu yang paling dasar ialah Takut akan Allah yang
puncaknya adalah hikmat atau kebijaksanaan.
Kita harus sadar akan hal ini bahwa
tanpa rahmat Allah kalau Allah tidak melindungi kita dan tidak menjaga kita,
kita mungkin jatuh seperti Petrus danYudas. Itu tidak mustahil, jika kita
ditolong oleh rahmat Allah. Satu cara yang dipakai seorang kudus untuk
memperoleh kerendahan hati dimana ia berdoa “Tuhan, aku tidak tahu kerendahan
hati itu tetapi saya hanya tahu saya tidak memilikinya dan dari diriku sendiri
aku tidak bisa memperolehnya. Kalau aku tidak memiliki kerendahan hati aku
tidak akan diselamatkan karena itu bagiku sekarang hanya kemungkinan ini yaitu
meminta kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu tetapi berilah aku rahmat-Mu untuk
memohon sebagaimana mestinya.
B. Saran
·
Apabila kita ingin dekat dan menikmati
indahnya kasih Allah hendaknya kita hidup dengan penuh kerendahan hati
karena hal itu akan menumbuhkan rasa
cinta kasih pada setiap orang.
·
Kesombongan aka membuat kita menjadi
lupa diri, apapun yang kita kerjakan serahkan lah pada Allah, karena akan menjadi berkat melimpah
bagi diri kita sendiri.
·
Berdoa lah untuk meminta kerendahan hati
pada Allah.
by : fortunata Merry Octaria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar